Cianjur, TELUSURBISNIS.COM — Apa yang bagi sebagian orang dianggap menjijikkan, justru menjadi sumber cuan bagi Abdul Kodir (41), warga Cianjur yang sukses membalik stigma ulat dan jangkrik menjadi ladang penghasilan menjanjikan. Mantan tenaga honorer ini kini dikenal sebagai salah satu pembudidaya jangkrik dan ulat paling konsisten di wilayahnya.
Kisah sukses Kodir bermula dari hal yang sangat sederhana: kehabisan stok pakan burung peliharaannya pada 2017. “Saya cari ulat hongkong, ulat jerman, dan jangkrik ke beberapa toko, tapi nihil,” ujarnya, beberapa hari lalau.
Dari situlah ia tergerak membudidayakan sendiri hewan-hewan kecil tersebut.
Dengan modal hanya Rp450 ribu, Kodir memulai usaha dari satu rak budidaya. Hasil panen pertamanya? Sekitar 25 kilogram ulat dan jangkrik yang langsung menghasilkan omzet Rp750 ribu.
“Bersihnya bisa sampai Rp300 ribu. Cukup besar untuk ukuran awal,” kata Kodir.
Di tengah keterbatasan sebagai tenaga honorer di SDN Cibantala I, Kodir justru menemukan peluang besar. Ia mulai menseriusi usaha budidaya ulat dan jangkrik di rumah kontrakannya. Bahkan, sang istri yang awalnya geli, akhirnya ikut membantu.
Puncaknya terjadi pada 2019. Usaha Kodir melejit, dengan omzet bulanan tembus Rp25 hingga Rp30 juta. “Dari situ saya bisa bangun rumah sendiri, biayai keluarga, dan anak-anak nggak perlu susah soal jajan lagi,” kenangnya.
Sayangnya, pandemi COVID-19 menjadi titik balik. Lomba burung kicau yang biasa menyerap produk budidayanya terhenti. “Karena lomba dilarang, otomatis permintaan ulat dan jangkrik turun drastis,” ujarnya.
Meski banyak peternak lain gulung tikar, Kodir bertahan. Kini, omzetnya stabil di kisaran Rp6 juta per bulan.
Kodir, yang kini sudah diangkat menjadi guru PPPK, tak hanya berhenti di situ. Ia kini membina mantan karyawannya agar bisa mandiri membudidayakan ulat dan jangkrik. Meski demikian, tantangan tak sedikit.
“Pasar di Cianjur masih terbatas, belum lagi bersaing dengan pembudidaya besar dari luar daerah. Padahal kondisi alam kita sangat mendukung,” ujarnya.
Salah satu kendala paling krusial adalah umur ulat dan jangkrik yang pendek. “Kalau lewat dari lima minggu, nggak laku lagi. Mau produksi banyak juga percuma kalau pasarnya sempit,” ungkapnya.
Kodir berharap ada terobosan baru dari pemerintah atau pelaku industri. Ia melihat potensi besar dari produk turunan seperti tepung jangkrik dan ulat untuk bahan dasar kosmetik.
“Pernah ada yang beli, tapi sekarang berhenti. Kalau bisa dibuka lagi, itu bisa jadi pasar yang menjanjikan,” katanya.
Menurut Kodir, inovasi seperti itu tak hanya menyelamatkan peternak dari kerugian, tapi juga membuka lapangan pekerjaan baru.
“Kalau pasarnya besar dan bervariasi, tentu budidaya bisa berkembang. Dan kalau berkembang, pasti ada rekrutmen tenaga kerja,” tutupnya.
Dari ulat dan jangkrik, Abdul Kodir membuktikan bahwa peluang bisa datang dari hal-hal yang tak terduga — asalkan tekun, kreatif, dan tak takut mencoba. ***