Karawang, TELUSURBISNIS.COM – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Cakra Indonesia menggelar diskusi publik yang menyoroti fenomena tanah timbul di pesisir utara Karawang, Kamis, 3 Juli 2025. Bertempat di RM Alam Ceria, forum ini mengangkat tema “Pemanfaatan Tanah Timbul Pesisir Pantai Utara Karawang sebagai Zona Pengendalian Abrasi dan Wilayah Konservasi.”
Diskusi ini lahir dari kekhawatiran atas semakin parahnya abrasi di wilayah pesisir serta maraknya klaim sepihak atas tanah timbul yang muncul akibat sedimentasi. Direktur LBH Cakra Indonesia, Dadi Mulyadi, SH, menekankan bahwa wilayah pesisir Karawang saat ini menghadapi tekanan ekologis serius yang butuh respon kebijakan yang tepat.
“Tanah timbul bukan sekadar ruang kosong. Ia menyimpan nilai ekologis dan sosial yang besar, dan pengelolaannya tak bisa diserahkan hanya pada logika ekonomi semata,” ujarnya.
Senada, Ketua Panitia Pelaksana Nandang Kurniawan, SH, menyebut tanah timbul harus dilihat sebagai aset konservasi dan alat pengendali abrasi. “Kita tidak bicara tanah tak bertuan. Ini ruang hidup yang bisa menjadi benteng terakhir ekosistem pesisir jika dikelola dengan prinsip keadilan ekologis,” tegasnya.
Diskusi ini menghadirkan berbagai narasumber lintas sektor, mulai dari Kantor ATR/BPN Karawang, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Perikanan hingga aktivis lingkungan. Moderator dari ATR/BPN Karawang, Indra Gumilar, menjelaskan secara teknis soal ketentuan hukum penguasaan tanah timbul.
“Tidak sembarangan orang bisa memiliki tanah timbul. Ada batasan hukum. Pasal 5 Permen ATR/BPN Nomor 17 Tahun 2016 mengatur penguasaan maksimal 100 meter persegi bagi warga yang berbatasan langsung. Di atas itu, pemanfaatannya harus sesuai zonasi tata ruang wilayah,” terang Indra.
Ia juga menambahkan, tanah negara termasuk tanah timbul hanya bisa diberikan oleh negara kepada individu atau badan hukum melalui pemberian hak atas tanah atau hak pengelolaan sesuai ketentuan dalam PP Nomor 18 Tahun 2021.
Acara yang turut dibuka langsung oleh Ketua DPRD Karawang, H. Endang Sodikin, itu diikuti oleh mahasiswa, organisasi kepemudaan, aktivis, dan unsur masyarakat pesisir. Forum ini diharapkan menjadi pemantik perumusan kebijakan tata kelola pesisir yang lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak pada masyarakat.
“Dialog ini baru langkah awal. Yang kita dorong adalah lahirnya regulasi yang melindungi lingkungan sekaligus memberi kepastian hukum bagi warga pesisir,” tutup Dadi Mulyadi.