Jakarta, TELUSURBISNIS.COM — Laut biru kehijauan Raja Ampat, yang selama ini jadi ikon keindahan Indonesia di mata dunia, kini tercoreng lumpur tambang. Kolam limbah milik perusahaan tambang nikel jebol dan mencemari laut di sekitar Pulau Manuran. Hasilnya: air keruh, sedimen mengendap, dan ekosistem laut yang terancam.
Temuan ini disampaikan langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, usai inspeksi mendadak bersama tim Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). “PT Anugerah Surya Pratama (ASP) terbukti tidak punya manajemen lingkungan yang layak. Kolam limbah mereka jebol dan mencemari laut,” ujar Hanif, Minggu (8/6/2025).
Bukan hanya pencemaran, KLH menilai aktivitas tambang PT ASP berpotensi menimbulkan kerusakan jangka panjang. Pemerintah pun bergerak cepat. Papan segel telah terpasang di lokasi, dan proses hukum sedang disiapkan. PT ASP terancam pasal pidana serta gugatan perdata atas dugaan pencemaran lingkungan serius.
Berizin Resmi, Tapi Diduga Lalai
PT ASP bukan pemain baru. Mereka mengantongi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi dari Kementerian ESDM sejak awal 2024. Konsesinya tak main-main: 1.173 hektare di Pulau Manuran, dan izin tambahan di Pulau Waigeo—yang ironisnya, berstatus kawasan suaka alam.
Meski berbekal dokumen AMDAL dan UKL-UPL sejak 2006, KLH menyebut dokumen tersebut tak pernah sampai ke meja mereka. “Kami akan minta untuk direview. Sistem pengelolaan lingkungan mereka nyaris tidak ada. Ini jelas membahayakan,” kata Hanif.
Selain PT ASP, satu perusahaan lain, PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), juga tengah dalam sorotan. KLH mengindikasikan kemungkinan langkah hukum serupa untuk perusahaan tersebut.
Satu Negeri, Dua Narasi
Di tengah sorotan terhadap pencemaran lingkungan ini, suara berbeda datang dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Melalui Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Tri Winarno, ESDM menyebut tak menemukan adanya sedimentasi saat meninjau tambang di Pulau Gag.
“Dari udara, laut tampak bersih. Tidak ada sedimentasi pesisir. Jadi, menurut kami tidak ada masalah,” ujar Tri.
Pernyataan ini kontras dengan temuan KLH—muncul dua narasi dari dua lembaga negara. Di satu sisi, pencemaran laut nyata. Di sisi lain, disebut tak ada masalah.
Surga yang Luka, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata. Ia adalah benteng terakhir keanekaragaman hayati laut Indonesia. Ketika industri tambang melanggar batas dan regulasi longgar tak mampu membendungnya, maka yang hilang bukan cuma pasir dan terumbu, tapi masa depan ekologi kita.
Apakah ini awal dari kerusakan yang lebih besar, atau momen refleksi untuk menata ulang arah pembangunan?
Laut sudah bicara. Kini giliran kita mendengar.