TELUSURBISNIS.COM – Nilai tukar rupiah kembali tertekan di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Selasa, 17 Desember 2024. Rupiah melemah signifikan di tengah penantian rilis kebijakan moneter terbaru dari Bank Indonesia (BI) dan keputusan suku bunga The Federal Reserve (The Fed). Pelemahan ini menambah tekanan terhadap ekonomi Indonesia menjelang akhir tahun.
Rupiah Jeblok, Dolar AS Menguat Tajam
Berdasarkan data Refinitiv, nilai tukar rupiah melemah sebesar 0,41% ke posisi Rp 16.060 per dolar AS pada penutupan perdagangan hari ini. Sepanjang sesi perdagangan, rupiah sempat menyentuh level terendah di Rp 16.068 dan tertinggi di kisaran Rp 16.000 per dolar AS. Pelemahan ini menandai posisi terburuk rupiah sejak 6 Agustus 2024, ketika sempat mencapai Rp 16.160 per dolar AS.
Indeks Dolar AS (DXY), yang menjadi acuan kekuatan dolar AS terhadap mata uang utama dunia, mencatat kenaikan 0,04% ke level 106,896 pada pukul 15.00 WIB. Penguatan ini menjadi salah satu faktor utama yang mendorong pelemahan rupiah. Tren penguatan dolar AS semakin menguat akibat ketidakpastian global dan kebijakan ekonomi di AS.
Penantian Kebijakan Suku Bunga The Fed dan BI
Pasar saat ini fokus pada kebijakan suku bunga The Fed yang dijadwalkan akan diumumkan pada 19 Desember 2024. Berdasarkan ekspektasi, The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps). Jika prediksi ini tepat, maka akan menjadi penurunan ketiga secara berturut-turut sejak September 2024, dengan total pemangkasan mencapai 100 basis poin. Keputusan ini akan membawa suku bunga AS ke kisaran 4,25%-4,50%.
Probabilitas pemangkasan suku bunga oleh The Fed mencapai 95,4% menurut perangkat FedWatch. Namun, penurunan suku bunga ini belum sepenuhnya meredam penguatan dolar AS yang masih didorong oleh arus modal kembali ke Negeri Paman Sam.
Di sisi domestik, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia dijadwalkan akan mengumumkan kebijakan moneter terbaru pada Rabu, 18 Desember 2024. Pelaku pasar menanti langkah BI dalam merespons pelemahan rupiah yang terus berlanjut di tengah dinamika ekonomi global.
Faktor Pemicu: Penguatan Dolar dan Defisit Fiskal AS
Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan bahwa pelemahan rupiah saat ini masih lebih terkendali dibandingkan mata uang negara-negara lain yang juga mengalami tekanan serupa. Perry menjelaskan bahwa penguatan dolar AS terjadi akibat kombinasi berbagai faktor global, termasuk dampak kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden AS.
Selain itu, meningkatnya defisit fiskal AS hingga 7,7% turut mendorong penerbitan surat utang AS dalam jumlah besar. Hal ini memicu capital reversal atau arus modal yang berbalik ke AS, sehingga memperkuat posisi dolar AS di pasar global.
“Sebelum pemilihan presiden AS, dolar berada di level 101 terhadap mata uang negara-negara maju. Kini, dolar telah menguat ke level 107,” jelas Perry dalam sebuah seminar nasional. Kondisi ini semakin diperparah oleh tingginya suku bunga di AS, yang menarik minat investor global untuk menempatkan dananya di aset berbasis dolar.
Kondisi Musiman dan Faktor Domestik
Chief Economist BCA, David Sumual, menilai pelemahan rupiah yang mencapai level Rp 16.060 per dolar AS juga dipengaruhi oleh faktor musiman. Menjelang akhir tahun, aktivitas pasar finansial cenderung melambat dengan volume perdagangan yang berkurang. Kondisi ini sering kali menekan mata uang domestik.
Namun, David optimistis bahwa tekanan terhadap rupiah akan sedikit mereda pada awal tahun mendatang seiring berakhirnya periode musiman tersebut. Meski demikian, pergerakan rupiah dalam beberapa waktu ke depan masih sangat bergantung pada arah kebijakan The Fed dan Bank Indonesia.
Dampak Terhadap Ekonomi Indonesia
Pelemahan rupiah yang signifikan dapat memberikan dampak ganda terhadap perekonomian Indonesia. Di satu sisi, pelemahan rupiah bisa mendorong ekspor karena produk Indonesia menjadi lebih kompetitif di pasar global. Namun, di sisi lain, impor akan menjadi lebih mahal, yang dapat memicu inflasi dan meningkatkan biaya produksi.
Penguatan dolar AS juga bisa memicu peningkatan pembayaran utang luar negeri, terutama bagi perusahaan yang memiliki kewajiban dalam mata uang asing. Hal ini dapat memberikan tekanan tambahan terhadap neraca keuangan perusahaan dan perekonomian secara keseluruhan.
Outlook Rupiah ke Depan
Dengan dinamika global yang terus berkembang, rupiah diperkirakan masih akan menghadapi volatilitas tinggi dalam jangka pendek. Kebijakan suku bunga The Fed dan BI akan menjadi penentu utama arah pergerakan rupiah selanjutnya. Jika BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan atau melakukan intervensi di pasar, pelemahan rupiah bisa dikendalikan.
Para investor dan pelaku pasar disarankan untuk terus memantau perkembangan kebijakan moneter global dan domestik. Dengan pendekatan yang tepat, tekanan terhadap rupiah bisa dikelola sehingga dampaknya terhadap perekonomian Indonesia dapat diminimalkan.
Kesimpulan Rupiah yang anjlok ke level Rp 16.060 per dolar AS menjadi sorotan utama menjelang rilis kebijakan suku bunga The Fed dan Bank Indonesia. Kombinasi penguatan dolar AS, defisit fiskal AS, dan faktor musiman menjadi pemicu utama pelemahan rupiah. Dalam kondisi ini, langkah-langkah strategis dari BI dan perkembangan kebijakan global akan menjadi kunci stabilitas rupiah di masa mendatang.